1 Pendahuluan
Akibat
perselisihan dalam mendefinisikan hilal sebagai penentu awal bulan Islam,
mungkin sudah sekitar seribu tahun umat Islam tidak pernah memiliki sebuah
Kalender Islam yang universal, proleptik, dan kredibel. Akibatnya, umat Islam
khususnya kalangan bisnis, secara pragmatis menggunakan Kalender Gregorian,
yang sekitar 11.5 hari lebih panjang, sebagai pengganti sistem manajemen waktu
dan basis akuntansi bisnisnya. Anehnya, umat Islam tidak menyadari konsekuensi
syariah akibat penggunaan Kalender Gregorian ini. Akibat yang paling nyata
adalah: jika laporan laba rugi bisnis Muslim dilakukan menurut Kalender
Gregorian, maka operasi bisnis yang 11.5 hari ini tidak terzakati. Ini berarti,
jika bisnis Muslim tersebut beroperasi selama 30 tahun, maka zakatnya selama
setahun tidak terbayar. Padahal, fenomena ini telah berlaku umum di seluruh
dunia Muslim tanpa disadari. Buktinya, hampir semua bank syariah di dunia ternyata
menggunakan Kalender Gregorian sebagai basis sistem akuntansinya [1]. Akumulasi zakat yang tak terbayar ini terus
menggelembung, besarnya sebanding dengan dua parameter utamanya, yaitu: lama
operasi bisnis tanpa menggunakan sistem akuntansi berbasis Kalender Islam, dan
total aset umat Islam di dunia. Angka hipotesis hutang peradaban ini
diperkirakan telah mencapai antara US$ 5-10 triliun; sebuah angka yang jauh
lebih besar dari yang diperlukan untuk menghapuskan kemiskinan di lingkungan umat
Islam di seluruh dunia.
2 Hutang Peradaban
Untuk
menghitung jumlah total hutang peradaban umat Islam akibat zakat yang tak
terbayarkan ini tentu saja tidak sederhana, karena:
- Pertama, perlu diketahui berapa lama sebetulnya umat Islam telah meninggalkan Kalender Islam sebagai basis sistem akuntansi bisnisnya.
- Kedua, diperlukan data keuangan bisnis umat Islam di dunia untuk menghitung total aset umat Islam.
Dari dua
parameter inilah baru dapat diperkirakan secara akurat berapa jumlah total
hutang peradaban tersebut. Jika angka ini telah diperoleh, maka perlu disusun
sebuah roadmap dan rencana strategis untuk melakukan pembayaran hutang
peradaban ini. Ini merupakan tugas raksasa yang harus dipikirkan oleh semua
ilmuwan Muslim. Judul makalah ini dibuat untuk membangkitkan kesadaran kita
semua bahwa ada tugas raksasa yang sangat besar daripada kita hanya berkutat
dengan pendefinisian hilal untuk mengawali Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Inilah tugas raksasa yang sangat penting dan Indonesia harus menjadi pionir
dalam membangkitkan kesadaran umat Islam dan kerja besar ini.
Pemodelan ini
kemudian digunakan pada dua jenis aset dan lama kepemilikan yaitu:
- Simulasi kepemilikan kolektif aset kertas (paper assets) dengan durasi kepemilikan bervariasi dari 4.5 sampai 19.4 tahun;
- Simulasi penggunaan laporan keuangan 22 perusahaan multinasional dengan durasi bisnis operasi rata-rata 10.5 tahun. Data ini digunakan karena laporan keuangan bank syariah ternyata tidak tersedia di domain publik meskipun mereka telah listed dan menjadi perusahaan publik.
Dengan dua jenis aset dan durasi kepemilikan
maksimum 19.4 tahun saja, dapat dilihat bahwa defisit pembayaran zakatnya telah
mendekati US$ 400 juta (gabungan Tabel 1 dan 2). Jika pemodelan ini digunakan
untuk menghitung kesalahan akibat pendefinisian sistem akuntansi seluruh bisnis
umat Islam yang telah berlangsung seribu tahun, angka hipotesis US$ 5-10
triliun hutang zakat di atas mungkin memang betul.
Tabel
2: Defisit pembayaran zakat jika korporasi dalam
tabel adalah bisnis Muslim
Dua fakta
permulaan di atas, seharusnya merupakan alarm bagi umat Islam bahwa perdebatan
tentang definisi hilal segera harus diakhiri. Hutang peradaban ini terus
menggelinding menjadi bola salju yang semakin besar seiring dengan waktu dan
semakin besarnya aset umat Islam.
Fakta di atas
juga seharusnya menyadarkan kita bahwa problem besar yang kita hadapi adalah
problem universal umat Islam sehingga analisis atas penyebabnya juga harus
global, tidak sektoral, apalagi terkungkung oleh sekat-sekat politik yang
sangat rapuh. Seperti akan dijelaskan pada bagian berikut dalam makalah ini,
cara pendefinisian hilal dan penentuan awal bulan qomariyah pun memang harus
menggunakan pendekatan yang global, dalam skala keruangangkasaan (space scale).
Cara pandang yang lokal dan sektoral meskipun dibungkus dengan semangat
nasionalisme, ternyata menjadi rancu bahkan erratic
secara saintifik.
3 Analisis Awal Dzulhijjah 1436H
Agar analisisnya konsisten, referensi hitungan pada penjelasan ini
menggunakan koordinat Jakarta.
Pada 13 September 2015 (akhir bulan Dzulqo’dah 1436H), ijtimak toposentris
terjadi pada jam 15:13 WIB. Saat maghrib (pukul 17:51), Bulan berada pada
posisi yang sangat rendah, hanya sekitar 0.7 derajat. Sudut elongasinya hanya
sekitar 1.5 derajat, dan ketebalan hilal nyaris 0 menit[1].
Jika Departemen Agama RI konsisten mengadopsi kriteria imkan-rukyat (IR) MABIMS
2-3-8, sebetulnya Departemen Agama tidak usah
menyebar perukyat untuk merukyat hilal di tanah air. Bulan juga tenggelam hanya
sekitar 3 menit setelah maghrib sehingga hampir mustahil para perukyat dapat
merukyat hilal. Namun harus diingat bahwa, tampak maupun tidak nampak, hilal dengan
referensi Jakarta terus membesar dengan tingkat pertumbuhan 0.013 menit/jam.
Buktinya, pada maghrib 14 September, ketebalan hilal 0.32 menit. Upaya merukyat
hilal pada maghrib 13 September di tanah air merupakan tindakan sia-sia dan
mubazir.
[1] Di beberapa software (missal: Stellarium), besaran ini diberikan
dalam angka persentasi bagian permukaan Bulan yang bercahaya dengan
memperhitungkan angka 100% terjadi saat purnama.
3.1 Extended Visibility
Maghrib di Porto Alegre (GMT-3) pada 13 September 2015 terjadi pada
jam 18:16 waktu lokal. Sementara Bulan tenggelam 27 menit kemudian. Ketinggian
hilal saat maghrib sekitar 5.8o, ketebalan hilal 0.08’ (menit sudut),
dan sudut elongasi sekitar 5.45o. Dengan demikian, hilal mudah
dirukyat. Di detik yang sama saat maghrib di Porto Alegre, di Jakarta (GMT+7)
telah jam 4:16 menjelang subuh tanggal 14 September 2015. Dengan pertumbuhan
hilal yang 0.013’ per jam, ketebalan hilal dengan referensi Jakarta berarti
sudah sekitar 0.13’ atau sekitar 63% lebih besar daripada hilal di Porto
Alegre. Artinya, kalau orang mendefinisikan hilal di Poto Alegre, maka yang di
Jakarta pun harus didefinisikan hilal karena secara geometri jelas lebih besar
meskipun tidak tampak karena tertutup bola Bumi. Inilah esensi hadis “…..fain ghumma ‘alaikum faqdurulahu” (…..jika kalian terhalangi atasnya, maka
hitunglah). Terhalang di sini meliputi terhalang oleh awan, mendung, dan apa
saja termasuk bola Bumi.
Saat maghrib di Lima jam 18:05 waktu lokal, hilal berada pada
ketinggian 6.4o, ketebalan 0.10’, dan sudut elongasinya sekitar 6.31o.
Dengan demikian, hilal dapat dengan mudah dirukyat jika tidak tertutup awan
atau mendung. Di detik yang sama, di Jakarta telah masuk tanggal 14 September
jam 6:05 pagi. Dengan pertumbuhan ketebalan hilal 0.013’ per jam, hilal dengan referensi
Jakarta telah memiliki ketebalan 0.16’ (sekitar 58% lebih tebal daripada hilal
yang tampak di Lima), meskipun tidak tampak karena masih terhalang bola Bumi.
Jadi, kalau di Lima dinamakan hilal, maka pasti hilal yang sama lah yang ada di
Jakarta meskipun tidak kelihatan.
Selanjutnya, saat maghrib di Guantemala jam 18:05 waktu lokal, hilal
memiliki ketinggian 5.2o, ketebalan 0.12’, dan sudut elongasi 7.15o,
sehingga dapat dirukyat dengan mudah. Di detik yang sama, di Jakarta sudah jam
7:05 pagi tanggal 14 September. Hilal di Jakarta ini tidak lagi terhalang lagi
oleh bola Bumi karena ia telah terbit kembali di ufuk timur Jakarta sejak jam
6:16 WIB. Namun, meskipun hilal di Jakarta telah memiliki ketebalan 0.17’ (41%
lebih tebal daripada hilal di Guatemala), hilal tetap tidak kelihatan karena
sinarnya kalah oleh sinar Matahari yang telah terbit mendahului Bulan, pada jam
5:47. Tidak bisa disangkal, hilal yang dilihat perukyat di Guatemala, pasti
juga merupakan hilal yang sama yang ada di bola langit Jakarta meskipun tidak
kelihatan.
(tidak diskala )
Lebih dari itu, kamera astrofotografi yang telah dimiliki oleh
beberapa organisasi pecinta astronomi di Indonesia dapat digunakan untuk
memotret hilal siang hari untuk memverifikasi kehadiran hilal di langit Jakarta
pada sepanjang siang hari sejak jam 7:00 pagi sampai menjelang maghrib 14
September 2015.
ÙˆَالْÙ‚َÙ…َرَ Ù‚َدَّرْÙ†َاهُ Ù…َÙ†َازِÙ„َ ØَتَّÙ‰ عَادَ Ùƒَالْعُرْجُونِ
الْÙ‚َدِيمِ
Dan
bulan, Kami telah tetapkan dalam lintasannya, sampai ia kembali seperti tangkai
kering yang melengkung.
Bila
awal manzilah pertama yang dianggap syar’i adalah pada maghrib 14 Sepember, adakah
yang dapat membuktikan bahwa kenampakan permukaan Bulan yang tersinari antara
dua maghrib 13 dan 14 September yang diuraikan di atas merupakan ‘urjunil qadim
sesuai dengan Ya-Sin: 39 di atas? Bagaimana mungkin kita membohongi kecerdasan umat
dengan melakukan transaksi yang tidak adil dengan menyangkal fakta ilmiah dan
syariah di atas hanya dengan dalih bahwa Departemen Agama adalah otoritas
tunggal yang berwenang menetapkan kapan dan bagaimana hilal itu harus
didefinisikan? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam
al-Muthoffifin yang mengharuskan semua transaksi itu dilakukan secara adil?
3.2 Kalende r Islam
Glo bal E
CFR
Kalen
der Islam Glo bal diperkenal kan di antara nya o leh the European Council for Fatwa and Research
(ECFR) menga nut p ada k etentuan imkan-rukyat global. Jika
ada satu titik saja di muka Bumi yang telah mengalami imkan-rukyat dengan
ketentuan: Somewhere on the globe,
altitude > 5°, elongation > 8°, maka seluruh dunia telah dianggap
masuk ke dalam bulan Islam baru. Untuk menganalisis masuknya awal Dzulhijjah
1436H, mari kita lihat titik di ujung paling Barat di bola Bumi kita, yaitu
Papeete, Polynesia (Perancis).
Pada maghrib 13 September 2015, Matahari tenggelam jam 17:54 waktu
lokal Papeete. Saat itu hilal berada pada ketinggian 8.7 derajat dan sudut
elongasi sekitar 8.7o. Dengan demikian, persyaratan ECFR di atas
telah terpenuhi dan oleh karenanya 14 September masuk 1 Dzulhijjah, dan Iedul
Adha jatuh pada 23 September 2015. Negara-negara di Eropa yang telah mengadopsi
Kalender Islam Global ini meliputi Irlandia, Perancis, Jerman, Itali,
Luxembourg, dan Turki. Pusat ECFR sendiri adalah di kota Dublin di Irlandia.
3.3 Kalender Wujudul Hilal
Lokal
Ada beberapa organisasi besar umat Muslim yang masih menganut
wujudul hilal lokal di dunia. Tiga di antaranya dijelaskan singkat di sini.
Pertama adalah Umm al-Qura University (UQU) di Saudi Arabia yang
telah menyusun kalender Islam bahkan untuk beberapa tahun ke depan. Kriteria WH
nya memiliki referensi hitungan untuk kota Mekkah. Pada 13 September 2015,
hilal di Mekkah memiliki ketinggian 1.5o, ketebalan 0.03’, dan sudut
elongasi 3.5o. Dalam situsnya, UQU telah menetapkan Iedul Adha 1436H
jatuh pada 23 September 2015 [4]. Kalender Islam UQU
ini telah resmi digunakan oleh Kerajaan Arab Saudi, satu-satunya negara di
dunia yang menggunakan Kalender Islam untuk keperluan manajemen waktu
negaranya.
Yang kedua adalah Islamic
Society of North America (ISNA), o rganisasi Mus lim untu k wilayah Amerika
Se rikat dan Kanada. The Fiqh
Council of North America (FQNA) sebagai badan fatwa ISNA telah menetapkan
perhitungan hisabnya menggunakan Mekah sebagai referensi. Dengan demikian,
tidak terjadi perbedaan antara Kalender FQNA dan UQU, insya Allah. Dalam
situsnya, FQNA juga telah menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1436H jatuh pada 14
September, dan karenanya, Iedul Adha 1436H jatuh pada 23 September 2015 [5].
3.4 Ayyam i al-bidh
Bulan purnama terjadi ketika posisi Bulan berada pada posisi
diametral dimana Matahari, Bumi, dan Bulan terletak pada satu bidang meridian
langit. Dalam posisi ini, bulan telah menempuh setengah orbitnya mengelilingi Bumi,
dan bagian Bulan yang bercahaya menghadap secara sempurna ke arah kita di
permukaan bumi. Dalam posisi ini, Bulan terbit sekitar 12 jam lebih lambat dari
Matahari. Dengan kata lain, Bulan terbit di ufuk lokal timur di mana pada saat
yang hampir sama Matahari terbenam di ufuk barat.
Ini merupakan fenomena astronomi yang istimewa karena bagian tertentu
dari Bumi akan terang benderang siang dan malam. Sangat menarik, Nabi Muhammad diriwayatkan
mendorong umat beliau untuk berpuasa sunnah pada tanggal 13, 14, dan ke-15 setiap
bulan pada apa yang disebut sebagai hari-hari
putih (ayyami al-bidh). Dalam tiga hari berturut-turut ini, bagian tertentu
dari Bumi akan tersinari terus karena sebelum Matahari terbenam di barat, Bulan
purnama terbit di timur.
Hadis: “Nabi meminta kami
untuk berpuasa pada tiga hari putih, yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap
bulan, dan dia bersabda: "Yang demikian itu seperti puasa sepanjang
tahun"”. [Sahih An-Nasa'i (1 / 328-329), Ibnu Hibban (943), Baihaqi
(4 /294) dan Ahmad ( 5/152 dan 177)].
Tabel
3: Hari-hari Putih pada 25, 26, dan 27 September
3.4 Imkan-Rukyat
Dengan kriteria IR MABIMS 2-3-8 jelas hilal dianggap tidak mungkin
dapat dilihat karena ketinggian hilal pada maghrib 13 September 2015 nanti hanya
sekitar +0.7o. Umumnya, jika ada laporan bersumpah bahwa perukyat
dapat melihat hilal pada maghrib 13 September pun, Departemen Agama
menggugurkannya karena dianggap tidak mungkin. Dengan kriteria IR ini, maka
bulan Dzulqo’dah digenapkan 30 hari (istikmal) sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada
15 September 2015. Konsekuensinya, Iedul Adha 1436H jatuh pada 24 September.
4 Analisis Kalender Hijrah
Glo bal tahun 1437H
Ada
4 model Kalender Islam Global (KIG) yang saat ini sedang dikaji oleh
pakar-pakar Ilmu Falak di dunia. Salah satu modeln ya adalah yang dianut oleh
European Council for Fatwa and Research (EFCR) yang dipimpin oleh Prof. Yusuf
Qaradawi seperti Kalender Islam Global pada bagian 3.2 di atas. Untuk memahami
prinsip extended visibility dalam penyusunan Kalender Hijrah Global ini,
penelitian awal dengan menganalisis kondisi awal bulan Islam selama 1437H yang
akan datang diberikan pada Tabel-4 beriku t. Kaj ian unt uk ketiga model yang lain
akan diberikan pada waktu yang akan dat ang.
Tabel
4: Proposal salah satu model Kalender Islam Global
Tabel-4 menganalisis kondisi wujudul hilal di tiga titik spot di
belahan Bumi yaitu, Jakarta, Mekah, dan Papeete. Kolom-8 pada tabel adalah
daftar kota-kota yang digunakan untuk memverifikasi kehadiran hilal seperti
yang dijelaskan pada 3.1. Analisis untuk bulan Safar 1437H terletak pada elemen
matrix (2,8) atau (Baris-2, Kolom-8), misalnya, menjelaskan kondisi hilal yang
dapat dirukyat saat maghrib di kota Lima (PERU) dengan ketebalan 0.04’. Di
detik yang sama, hilal dengan referensi Jakarta telah setebal 0.16’ (300% lebih
tebal) meskipun tidak kelihatan. Sementara ketika hilal di Papeete dapat
dirukyat dengan ketebalan 0.08’, di detik yang sama, hilal yang sama ada dengan
referensi Jakarta dengan ketebalan 0.22’ (175% lebih tebal). Jadi jelas, jika
orang mengakui hilal di Lima dan Papeete, maka hilal yang sama sebetulnya ada
di Jakarta bahkan dengan ketebalan yang jauh lebih besar.
- Hilal di Santiago (CHILE) dapat dirukyat dengan ketebalan 0.10’, sementara di detik yang sama, hilal dengan referensi Jakarta telah setebal 0.16’ (60% lebih tebal);
- Dengan ketebalan 0.14’, hilal dapat dirukyat saat maghrib di Easter Island (CHILE), sementara di detik yang sama, hilal dengan referensi Jakarta telah setebal 0.16’ (14% lebih tebal.
- Saat maghrib di Adamstown (PITCAIRN ISLAND) hilal dapat dirukyat dengan ketebalan 0.17’, sementara di detik yang sama, hilal telah memiliki ketebalan 0.21’ (24% lebih tebal) dengan referensi Jakarta.
Dari
Tabel-4 di atas, dapat dilihat bahwa bila hilal di ujung barat bola Bumi
terlalu rendah, maka prinsip extended visibility tidak mampu untuk
memverifikasi kehadirannya. Ini diperlihatkan pada baris 1, 9, dan 11 (lihat
lingkaran merah). Sedangkan threshold ketinggian hilal minimum sebesar 4
derajat menunjukkan bahwa prinsip extended visibility dapat diterapkan untuk
memverifikasi kehadiran hilal di Jakarta. Lihat baris, 2, 3, 5, 8, 10, dan 12. Dengan
demikian, kriteria imkan-rukyat global (IRG) dengan minimum altitude 4o
sebetulnya dapat diaplikasikan (bandingkan dengan 5o yang
dipersyaratkan oleh ECFR seperti dijelaskan di atas. Namun, harus disadari
bahwa analisis yang dilakukan dalam makalah ini belum memperhitungkan kondisi
extended visibility di titik-titik lebih ke timur dari Jakarta. Dapat
disimpulkan bahwa angka ketinggian hilal minimum 5o yang ditetapkan
oleh ECFR tampaknya sudah cukup konservatif untuk mengakomodasi kondisi
extended visibility di wilayah timur ini.
Referensi
4. Gent, R.H.v. The Principal Islamic Days of Observance according
to the Umm al-Qura Calendar. Webpages on the History of Astronomy by Robert
Harry van Gent 2015; Utrecht: [Available from: http://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/islam/ummalqura_principal.ht
m.
. Shaukat, K. Moonsighting Committee Worldwide. 2015
29 August 2015; Available from: http://moonsighting.com/calendars/2015fcna.html.
[1] Di beberapa software (missal: Stellarium), besaran ini diberikan
dalam angka persentasi bagian permukaan Bulan yang bercahaya dengan
memperhitungkan angka 100% terjadi saat purnama.
8 comments:
Prof kalo PCIM Malaysia bisa dapatkan PDF Version kan lebih mudah kami sebarkan dalam pengajian Bulanan beserta TKI< Expats dan pemegang IC merah.
Boleh....tolong beri alamat emailnya
Boleh....tolong beri alamat emailnya
Ini link unt artikel dalam PDF format https://drive.google.com/open?id=0B7t1e2Z_T0_-a19tMjVaaHI5WlE
alhamdulillah
Tulisan yg menarik prof.
Mohon maaf pertanyaan saya ini kalau dianggap terlalu awam.
Selama ini ummat memakai dalil hadits yg diakhir kalimatnya (kurang lebih artinya): "kalau terhalang, maka sempurnakanlah" maksudnya kalau hilal tak nampak, maka akhir bulan di tambah 1 hari lagi.
Lalu bagaimana penerapannya dalam metode extended visibility ini?
Pak Budi Syahbirin.
Maaf baru balas. Bunyi hadisnya adalah: "fain ghumma 'alaikum faqdurulahu" itu artinya "kalau kalian terhalang atasnya (maka) perkirakanlah (hitunglah)". Hadis pertama ini diriwayatkan oleh Ibn Umar. Ada memang hadis lain (kedua) yang mengatakan "sempurnakanlah". Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan juga Abu Hurairah. Kedua hadis di atas memang sahih. Namun harus diingat ketika perintah puasa diturunkan (tahun 2H), Ibn Abbas baru berumur 4 tahun karena ketika Rasul hijrah, beliau masih berumur 3 tahun. Orang tua Ibn Abbas dan Ibn Abbas tidak ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi. Sementara itu, Abu Hurairah baru masuk Islam pada tahun 7H. Dengan demikian Ibn Abbas dan Abu Hurairah tidak mendengar hadis di atas langsung dari Rasul. Hadis Ibn Umar memiliki maqam yang lebih tinggi karena Ibn Umar adalah sahabat Rasul ketika di Mekah, ikut hijrah ke Madinah dan terus berjuang bersama Rasul di Madinah. Dengan kata lain, Ibn Umar mendengar langsung hadis tentang puasa ini dari Rasul SAW.
Post a Comment