Tulisan ini
adalah sebagai tanggapan atas pendapat Prof. Thomas Djamaluddin yang dimuat
pada Merdeka.com 8 Juli 2015 dengan judul Lapan sebut Idul Fitri
kemungkinan jatuh tanggal 18 Juli 2015. Mari kita lihat detil analisis
astronomi berikut ini.
Dengan referensi
Jakarta, ijtimak yang menandai berakhirnya siklus sinodik Bulan yang terdekat akan
terjadi adalah pada tanggal 16 Juli 2015 jam 6:37 WIB. Fenomena astronomis ini menandai berakhirnya bulan Ramadan 1436H. Ketika Matahari tenggelam pada
jam 17:53 di hari yang sama, hilal sebetulnya telah terbentuk dengan ketebalan
0.08 menit (baca: menit busur). Ketinggian hilal sendiri adalah 2.5 derajat.
Salah satu faktor sukarnya merukyat hilal pada saat itu adalah karena, dalam window
yang hanya 15 menit setelah Matahari tenggelam, Bulan pun akan tenggelam.
Dengan demikian untuk sekitar 12 jam berikutnya, kenampakan hilal akan terhalang oleh bola Bumi. Namun demikian, tampak maupun tidak, hilal akan semakin
bertambah besar dengan tingkat pertumbuhan 0.02 menit (busur) per jam, karena
24 jam kemudian pada maghrib 17 Juli 2015, ketebalan hilal akan menjadi 0.59
menit.
Dengan demikian,
dengan referensi Jakarta, pada jam 22:37 WIB (sekitar 4 jam kemudian), hilal
akan memiliki ketebalan sekitar 0.17 menit, namun hilal tidak akan kelihatan
karena terhalang oleh bola Bumi. Bagaimana cara melihat hilal saat itu? Lihatlah
(verifikasilah) di Dodoma (Tanzania). Pada saat di Jakarta jam 22:37, di Dodoma
adalah tepat saat maghrib jam 18:37. Ketinggian hilal saat itu di Dodoma akan
sekitar 4.8 derajat (mudah dirukyat) sementara ketebalan hilal sekitar 0.13
menit. Ada dua hal yang aneh di sini .
- Dengan referensi Jakarta, meskipun fisik hilal sudah lebih besar (0.17 menit), hilal ini tidak diakui sebagai hilal karena tidak tampak (terhalang bola Bumi). Sementara hilal yang di Dodoma, meskipun ketebalannya hanya 0.13 menit, tapi ini diakui sebagai hilal karena tampak oleh mata.
- Jakarta, Dodoma, dan Bulan membentuk sebuah segitiga ruang. Jarak Jakarta-Dodoma adalah sekitar 7,800 km, sementara jarak Bumi ke Bulan sekitar 390,000 km. Jika Jakarta-Dodoma kita skala menjadi seperti jarak antara kedua mata kita yang hanya 7 cm, maka jarak Bumi-Bulan hanya sekitar 3.5 meter saja. Inilah analoginya: Kita menempatkan sebuah kertas bertuliskan kata “hilal” sekitar 3,5 meter dari mata kita. Namun kita menyangkal tulisan “hilal” tersebut hanya karena yang melihat cuma mata kiri, sedangkan mata kanan kita tertutup perban. Apakah penyangkalan ini masuk akal?
- Jadi sebetulnya, hilal yang tampak saat maghrib di Dodoma itu sebetulnya adalah hilal yang sama dengan referensi Jakarta meskipun dari Jakarta, hilal tersebut tidak tampak.
Kita dapat
menggunakan sampel kedua. Dengan pertumbuhan ketebalan hilal yang 0.02 menit
per jam, pada jam 24:03 dengan referensi Jakarta (sudah masuk 17 Juli), hilal
akan memiliki ketebalan 0.21 menit. Namun, hilal masih belum juga dapat dilihat
karena posisi Bulan masih berada di bawah ufuk Jakarta (masih terhalang oleh
bola Bumi). Bagaimana agar hilal dapat diverifikasi? Lihatlah hilal saat
maghrib jam 18:03 tanggal 16 Juli 2015 di Luanda (Angola). Ketinggian hilal di
Luanda akan sekitar 5.8 derajat dengan ketebalan 0.15 menit. Hilal itulah hilal
yang sama dengan referensi Jakarta yang sebetulnya lebih tebal (0.21 menit). Argumen
yang sama diberikan karena Jakarta, Luanda, dan Bulan membentuk segitiga ruang.
Jarak Jakarta-Luanda adalah sekitar 10,300 km. Dengan demikian, jika jarak
Jakarta-Luanda kita skala seperti jarak kedua mata kita, jarak Bumi dan Bulan
hanya sekitar 2.7 meter saja. Menyangkal kehadiran tulisan “hilal” pada kertas
yang kita tempatkan sejauh 2.7 meter hanya karena salah satu mata kita
diperban, sungguh tidak masuk akal.
Dua sampel di
atas dengan logika segitiga ruang yang dibentuk oleh dua titik di Bumi dan
Bulan inilah yang dinamakan prinsip extended
visibility.
Untuk sampel
ketiga, kita gunakan titik yang lebih ke Barat yaitu kota Quito di Equador
(GMT-5). Saat maghrib jam 18:23 tanggal 16 Juli 2015 di Quito, di Jakarta
(GMT+7) sudah jam 6:23 pagi tanggal 17 Juli 2015. Ketinggian hilal di Quito
saat maghrib adalah 10.8 derajat sementara ketebalan hilal adalah 0.27 menit.
Dengan referensi Jakarta, ketebalan hilal malah lebih besar yaitu 0.34 menit.
Hilal memang sudah tidak terhalang oleh bola Bumi lagi karena sudah terbit di
ufuk Timur Jakarta. Sayangnya, Matahari telah terbit mendahului pada sekitar
jam 6:04 WIB. Dengan demikian, meskipun hilal sudah berada di hemisfir Jakarta,
namun hilal tidak akan tampak oleh mata telanjang akibat terlalu kuatnya intensitas
sinar Matahari. Namun, yakinlah bahwa hilal yang tampak di Quito itu
membuktikan kehadiran hilal yang sama di langit Jakarta pada pagi hari itu
meskipun tidak kelihatan. Ada opsi lain untuk dapat melihat hilal siang hari di
langit Jakarta. Kamera dan teknik image processing yang digunakan oleh dua
astronomer Martin Elsasser (Jerman) dan Thierry Legault (Perancis) telah
membuktikan dapat memotret hilal siang hari ini. Sudut elongasinya pada jam
6:23 adalah 10.7 derajat. Jadi teknik yang telah digunakan oleh kedua ahli
astronomi itu akan dengan mudah memotret hilal.
Dengan demikian,
untuk waktu sekitar 12 jam setelah Bulan terbit kembali di ufuk Timur Jakarta
pada pagi 17 Juli 2015, hilal dapat diverifikasi kehadirannya (diportret)
sampai dengan menjelang maghrib hari itu. Bila hilal yang dapat dipotret selama
sekitar 12 jam tersebut tidak diakui juga sebagai hilal, maka apakah hilal yang
muncul tepat pada saat maghrib 17 Juli 2015 dianggap begitu saja “mecotot” dari
langit? Ini sangat tidak masuk akal. Jadi sudah dapat dipastikan bahwa hilal
yang dapat dipotret selama sekitar 12 jam pada siang tanggal 17 Juli nanti itu
adalah hilal yang betul-betul hilal. Kalau ini disangkal, maka silahkan cari
referensi dalam buku teks Astronomi, apa nama benda tersebut kalau bukan hilal.
Dalam buku teks Astronomi, bahkan sampai hari ke-5 setelah terbentuknya hilal
masih disebut crescent baik kelihatan maupun tidak kelihatan. Dalam bahasa
Arab, crescent adalah hilal . Pada dasarnya, kita dapat mengambil titik sampel
sebanyak-banyaknya dalam rentang meridian Jakarta terus ke arah Barat untuk
membuktikan kehadiran hilal. Dengan demikian selama rentang waktu 23 jam 45
menit kita dapat membuktikan kehadiran hilal antara dua maghrib 16 Juli dan 17
Juli 2015.
Dari penjelasan
di atas, jelaslah bahwa untuk memverifikasi kehadiran hilal tidak perlu
merukyat. Meyakini kehadiran hilal itulah sebetulnya yang diperlukan. Saat kita
mulai berpuasa di waktu subuh, hilal berada jauh di bawah ufuk dan tidak
kelihatan. Jadi kita berpuasa bukan karena melihat hilal. Merukyat hilal pada
saat maghrib sebelumnya tidak lain adalah upaya untuk meyakini kehadiran hilal.
Jika kita telah mampu melakukan perhitungan saat kehadiran hilal, maka merukyat
sudah tidak diperlukan lagi. Tulisan ini membuktikan bahwa maghrib 16 Juli 2015
telah syah masuk awal Syawwal 1436H, dan karenanya Iedul Fitri jatuh pada 17
Juli 2015. Kegagalan merukyat hilal pada window yang hanya 15 menit antara
maghrib 16 Juli (jam 17:53) dan Bulan tenggelam (jam 18:08) tidak dapat
menganulir scientific evidence kehadiran hilal selama 23 jam dan 45 menit seperti
diuraikan di atas. Menunda sampai 18 Juli berarti telah masuk ke hari kedua
bulan Syawwal 1436H. Dapat disimpulkan, Imkan-Rukyat sebetulnya adalah sebuah scientific blunder karena hanya menggunakan
window yang hanya 15 menit (1.04%), untuk menganulir scientific evidence yang 23 jam 45 menit (98.96%). Sungguh tidak dapat diterima oleh logika akademik yang paling mendasar.
Catatan: Penjelasan yang lebih komprehensif tentang uraian dalam tulisan ini dapat dibaca dalam buku yang saya tulis, berjudul: Pseudo Shariah Economy and Muslims' Civilization Debt.
5 comments:
Pada hari pertama puasa di Kotaku Meulaboh langauny bisa lihat bulanm padahal biasa pada hari ketiga Puasa baru kelihatan. Gimana
sebenarnya posisi kita di mana ? mengapa harus memposisikan pada tempat lain ? memang sulit kalau hanya berdasar pada hitungan akademik tanpa niat untuk mengamalkan dalil.
Saefullah : jika suatu tempat melihat bulan.... berpuasalah
Satu bulan itu adalah 1 X bulan mengelilingi bumi yang terdiri dari face-face dengan posisinya seperti lingkaran.
untuk memulai hitungannya (hisab) satu bulan itu bisa saja dimulai dari :
1-- dari posisi bulan mati ke posisi bulan mati berikutnya (kunjungsi ke kunjungsi berikutnya)
2-- dari posisi bulan hilal muda ke posisi bulan hilal muda berikutnya.
3-- dari posisi bulan 1/2 (D) ke posisi bulan 1/2 (D) berikutnya.
4-- dari posisi bulan purnama ke posisi bulan purnama berikutnya.
dan seterusnya.
semuanya itu bisa di hitung (dihisab) dengan tepat.
Sejalan dengan itu sebagai panduan ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah saw, hitungan (hisab) satu bulan itu bermula dari posisi bulan hilal muda ke posisi bulan hilal muda berikutnya.
Sunarno : Mantaaappp!!!
Post a Comment