Potensi
umat Islam untuk kembali dirundung kesedihan akibat perbedaan penentuan awal
Ramadan akan berulang selama tiga tahun berturut-turut yaitu pada 2012, 2013,
dan 2014. Data astronomi untuk 1 Ramadan tahun 1433-H, 1434-H, dan 1435-H
tersebut disusun pada Tabel 1 (semua hitungan dilakukan dengan basis Jakarta).
Pada 19 Juli 2012, ijtima akan terjadi pada sekitar jam 11:10 pagi. Saat matahri tenggelam pada jam 17:54, hilal akan berada pada ketinggian 1.9 derajat di atas ufuk. Departemen Agama RI biasanya akan menganulir syahnya saat ini sebagai awal bulan Ramadan karena presumption hilal yang dapat dilihat itu adalah minimum 2 derajat.
Pada 8 Juli 2013, ijtima insya Allah akan terjadi pada jam 16:00 dan saat matahri tenggelam pada jam 17:52, hilal hanya memiliki ketinggian 0.7 derajat. Apalagi ini. Ini pastilah akan tertolak juga oleh otoraitas di Jakarta.
Sedangkan pada 27 Juni 2014, ijtima akan terjadi lebih lambat lagi yaitu pada sekitar jam 17:02. Saat matahari tenggelam pada jam 17:49, hilal akan sangat tipis dan berada pada ketinggian sekitar 0.7 derajat. Jelas inipun rasanya akan ditolak oleh otoritas di Jakarta sebagai awal Ramadan.
ISLAMIC
CALENDAR
|
GREGORIAN
CALENDAR
(dd-mm-yy)
|
CONJUNCTION
(hh:mm)
|
SUNSET
(hh:mm)
MOONSET
(hh:mm)
HILAL
ALTITUDE (o)
|
1
Ramadan 1433-H
|
19 July 2012
|
11:10
|
17:54
18:02
1.9
|
1
Ramadan 1434-H
|
08
July 2013
|
16:00
|
17:52
17:54
0.7
|
1
Ramadan 1435-H
|
27 June 2014
|
17:02
|
17:49
17:52
0.7
|
Tabel 1: Karakteristik
matahari dan bulan pada awala Ramadan 1433-H, 1434-H, dan 1435-H
Persoalannya,
syarat imkan-rukyat 2 derajat ini jelas mengada-ada karena pada zaman Rasul, ada
dua kali dimana ketinggian hilal itu hanya 1.7 dan 1.8 derajat (lihat Tabel 14
di buku Mengkompromikan Rukyat dan Hisab di hal 203 yang saya tulis pada tahun
2007). Selanjutnya, telah secara spesifik disebut oleh Rasul, bahwa melihat
hilal itu diperuntukkan bagi kaum ummiy yang tidak memiliki akses pada
informasi saintifik dan teknologi.
Sebetulnya kesulitan melihat hilal itu bukan
karena ketinggiannya. Problem yang terbesar adalah karena waktunya yang sangat
pendek. Dalam kasus 19 Juli 2012 nanti waktunya hanya 8 menit. Sedangkan pada 8
Juli 2013 dan 27 Juni 2014 berturut-turut akan hanya sekitar 2 dan 4 menit.
Jadi ibaratnya perukyat ini mau garuk2 pun enggak bakal sempat. Kondisi
psikologis itulah sebetulnya problem terbesarnya. Belum lagi adanya halangan
awan, kabut, dan tekanan psikologis pesan sponsor “pokoknya harus enggak
kelihatan”.
Selain
itu, kelemahan terbesar dari praktek pengamatan hilal yang dilakukan oleh
kebanyakan perukyat dan otoritas yang mengorganisasinya (termasuk expert dan
konsultanya) adalah tidak adanya sebuah mekanisme untuk memverifikasi apakah betul
hilal tersebut kelihatan atau tidak kelihatan. Dalam sebuah masyarakat modern,
code of conduct seorang professional itu adalah: apapun keputusan yang diambil
harus dapat diverifikasi oleh siapapun, setiap saat. Apalagi jika keputusan itu
menyangkut syah dan tidaknya sebuah ibadah bagi ratusan juta umat Islam. Praktek
rukyat yang ada tidak memberikan ruang sama sekali bagi masyarakat untuk
memverifikasi.
Dalam
statistik, jika anda harus mengukur sebuah obyek tapi dilakukan hanya satu kali
saja, maka anda akan masuk dalam sebuah perangkap yang dinamakn zero variance. Artinya, sebesar apapun
kesalahan dari pengukuran anda, anda tidak mungkin akan mengetahuinya. Kesalahan
ini tidak akan dapat diditeksi. Secara sederhana, saya berikan ilustrasi
seperti berikut. Anda akan membeli tanah di kampung yang belum mengenal
sertifikat tanah. Si pemilik mengklaim panjang tanahnya adalah 30 meter. Ketika
anda ukur,
ternyata panjangnya cuma 27 meter. Anda tidak mungkin akan dapat mengatakan
bahwa ukuran yang yang anda lakukan adalah yang benar. Mengapa? Karena obyek
yang diukur cuma satu, dan andapun hanya melakukannya satu kali. Tidak ada
redundancy di sana. Bagaimana untuk memverifikasinya, anda harus mengukurnya kembali. Akan lebih baik jika yang
mengukur kali kedua adalah orang lain yang independen menggunakan pita ukur
yang berbeda dari yang anda gunakan.
Tapi keadaanpun akan tidak terlalu banyak
menolong jika orang independen ini memperoleh angka 28 meter. Apa sebabnya? Karena
jika redundant observationnya cuma satu, maka tetap reliability hasil
pengukuran tersebut masih rendah. Maka pengukuran ketiga dan lebih baik lagi
oleh orang lain lagi akan menolong. Jadi rangkaian pengukuran itu diperlukan
sebagai upaya cek untuk memverifikasi pengukuran anda. Kondisi untuk membangun
hasil pengukuran hilal yang reliable inilah yang tidak dibangun oleh otoritas
di Jakarta. Ngukur hilal (secara kualitatif, kelihatan atau enggak kelihatan),
tapi dilakukan tanpa mekanisme cek dan verifikasi. Memang dilakukan oleh
ratusan orang di 90 lokasi yang berbeda. Tapi kondisi psikologisnya semua sama, dibawah
tekanan yang “garuk2 pun enggak sempat” karena cuma punya waktu beberapa menit
saja. Ditambah lagi dengan tekanan politik “pokoknya jangan sampe kelihatan”.
Cilakanya,
ratusan juta umat Islam harus percaya pada kuputusan ini tanpa upaya
diberdayakan agar mereka mampu memverifikasi keputusan ulil amrinya. Ini bukan
saja pseudo science, tapi harus ditambah lagi dengan despotism in science.
Persis seperti Moammar Khadafy yang menetapkan bahwa interpretasi Revolusi
Rakyat Libya itu ya harus yang persis seperti yang dia maui. Sangat berbahaya
pseudo science and despotism in science ini.
Islamic
Calendar
|
Cities in
American
Continent
|
Local
Date
|
Sunset
(LT)
Moonset
(LT)
(hh:mm)
|
Hilal
Altitude
(o)
|
Synchronization
with
Jakarta
|
|
Date
|
Time
|
|||||
1
Ramadan
1433-H
|
Porto
Alegre,
Brazil
|
19/07/2012
|
17:45
18:27
|
8.3
|
20/07/2012
|
03:45
|
Santa
Cruz,
Bolivia
|
19/07/2012
|
17:55
18:32
|
8.3
|
20/07/2012
|
04:55
|
|
1 Ramadan
1434-H
|
Papeete,
Tahiti
|
08/07/2013
|
17:38
18:20
|
9.2
|
09/07/2013
|
10:38
|
Adamstown,
Pitcairn
Island
|
08/07/2013
|
18:06
18:49
|
8.9
|
09/07/2013
|
09:06
|
|
1 Ramadan
1435-H
|
Papeete,
Tahiti
|
27/06/2014
|
17:35
18:17
|
9.2
|
28/06/2014
|
10:35
|
Adamstown,
Pitcairn
Island
|
27/06/2014
|
18:02
18:44
|
8.8
|
28/06/2014
|
09:02
|
Tabel 2: Alternatif
kota2 dengan hilal yang cukup tinggi untuk pengamatan hilal pada tahun 2012-2014
Bagaimana
cara memverifikasi hasil pengamatan rukyat? Yang jelas, jika di Jakarta saja
sudah begitu rendah, adalah groundless untuk melakukan pengamatan di wilayah2
lebih ke timur. Persoalannya, ke barat memang ahirnya jadi merambah pada
wilayah teritori politik negara lain. Namun, ibadah kan memang harus bebas dari
domain politik, maka upaya melakukan rukyat di wilayah lain adalah syah secara
syar’i. Salah satunya diusulkan dilakukan di kota2 seperti pada Tabel 2. Pada saat magrib tanggal 19 Juli 2012 di
Porto Alegre, Brazil, hilal akan ada pada ketinggian sekitar 8.3 derajat. Hilal
itu adalah hilal yang sama yang seharusnya kelihatan pada 10 jam sebelumnya
ketika maghrib di Jakarta. Kalau enggak kelihatan, itu karena beban psikologis,
bukan teknis. Pada saat maghrib di Porto Alegre, tentu saja di Jakarta sudah
jam 03:45 tanggal 20 Juli 2012. Tapi, cukup waktu bagi otoritas di Jakarta untuk memberi
tahu umat Islam untuk tidak berpuasa karena telah dikonfirmasi bahwa hilal
telah lahir dan besar.
Pada
Ramadan tahun berikutnya, memang verifikasi harus dilakukan di tempat lain
seperti Papeete (Tahiti) dan Adamstown (Pitcairn Island). Saat itu di Jakarta sudah
sekitar jam 9 atau 10 pagi (masuk 1 Syawal), tapi masih cukup bagi otoritas di
Jakarta untuk meminta umat Islam membatalkan puasanya. Untuk sholat Iedul Fitri
dapat dilakukan pada 2 Syawal paginya karena hari itu telah terlambat. Tapi
yang paling penting, umat telah diminta membatalkan puasa di hari yang
diharamkan.
Nah,
dalam hal inilah metode hisab memiliki keunggulan karena compliant dengan
kaidah2 professional conduct manusia modern. Ia dapat diverifikasi oleh
siapapun dan kapanpun. Kalau ada yang tidak bisa memverifikasi, sebetulnya yang
tepat belum mampu. Kalau mau sedikit belajar, akan sangatt mudah bagi setiap
orang untuk melakukan verifikasi. Yang paling penting, kita enggak bakal punya Kelender Islam bila tetap harus merukyat. Hisablah satu2 nya cara untuk membangun Kalender Islam yg kredibel. Wallahu ‘alam bis showab.
Wassalam,
Tono Saksono